BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Esensi dari
Undang-Undang yang mengatur Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah untuk
membangun Pemerintah Daerah dalam mengisi pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan, serta pelayanan masyarakat yang ada di daerah. Di sisi lain
Undang-Undang Pemerintah Daerah di samping mengatur satuan daerah
otonom juga mengatur satuan pemerintahan administratif.
Pada hakikatnya hak otonomi yang diberikan
kepada daerah – daerah adalah untuk mencapai tujuan negara, Menurut UU
No. 32 Tahun 2004, otonomi yang diberikan secara luas berada pada Daerah
Kabupaten / Kota. Dengan maksud asas desentralisasi yang diberikan secara
penuh dapat diterapkan pada Daerah Kabupaten dan Kota. Selanjutnya dalam Undang
– Undang ini dijelaskan bahwa prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,prakarsa,dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatankesejahteraan rakyat.
Hal ini di dukung dengan keluarnya peraturan pemerintah No . 129 Tahun 2000 tentang persyaratan
pembentukan, dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan daerah otonom disatu sisi bertujuan
untuk ( a )
memperpendek rentang pelayanan publik ( b ) meningkatkan kesejahtraan masyarakat ( c ) percepatan
pembangunan pada wilayah pedesaan. Pemekaran wilayah di samping memiliki tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga tidak sedikit menyisakan
persoalan sosial di tengah masyarakat itu sendiri. Disisi lain secara realitas
pembentukan otonomi daerah juga tidak bisa dipungkiri pada dimensi – dimensi negatife seperti ( a )
munculnya raja – raja kecil atau penguasa – penguasa kecil pada tingkatan
kabupaten / kota ( b ) terjadinya konflik
politik para elit – elit politik dan lebih parah lagi ( c ) terjadinya konflik
horizontal pada level masyarakat bawah. Sejak terwujudnya reformasi, daerah – daerah
ditanah air berlomba – lomba untuk memekarkan diri dari propinsi induk atau
kabupaten / kota induknya. Keinginan pembentukan daerah baru dimaksud tidak
bisa diabaikan pemerintah pusat karena memiliki payung hukum yang jelas.
Salah
satu daerah otonom yang baru dimekarkan adalah kabupaten Buton Utara dengan
landasan hukum Undang – Undang No. 14 Tahun 2007. Pada undang – undang tersebut
telah tercantumkan segala ketentuan baik pembangunan Infra struktur sarana dan
prasarana, peningkatan pembangunan ekonomi masyarakat maupun pembangunan
dibidang sosial secara normatif telah dituangkan didalamnya.
Kabupaten
Buton Utara adalah sebuah kabupaten
di provinsi Sulawesi Tenggara dengan Ibukotanya Buranga. Kabupaten ini
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari
2007. Paska pemekaran
Kabupaten buton utara tidak sesuai dengan amanah Undang – Undang No 14 Tahun
2007 tentang penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara di Buranga. Hal ini
menjadi pemicu dan titik awal terjadinya konflik yang berkepanjangan sampai
hari ini, faktor penyebabnya merupakan
kepentingan dari berbagai komponen dalam dinamika kehidupan sosial budaya,
ekonomi, dan kepentingan politik yang cederung telah memecahkan persatuan dan
kesatuan dimana yang selama ini telah terjalin dengan baik.
Konflik penempatan ibukota Kabupaten Buton
Utara muncul setelah terbentuknya Kabupaten Buton Utara, hal ini menunjukan
bahwa orientasi kepentingan dan konflik yang berkepanjangan dalam komponen
masyarakat perlu adanya penyelesaian yang serius atau segera
diakhiri agar dalam proses pembangunan dapat berjalan sesuai harapan
masyarakat yang selama ini diharapkan. Pada dasarnya semua masyarakat Buton
Utara megharapkan kedamaian dan keamanan, agar dinamika kehidupan sosial
budaya, ekonomi dan politik dikabupaten Buton Utara dapat berlangsung secara
harmonis, damai dan sejahtera serta dinamis sesuai dengan keinginan awal
seluruh masyarakat Buton Utara untuk menjadi daerah otonomi baru yang terpisah
dari kabupaten induknya.
Konflik ini disebabkan
karena penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara yang tidak sesuai dengan
ketentuan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Ibukota
Kabupaten Buton Utara terletak di Buranga, jadi pembangunan infrastruktur harus
di pusatkan pada Ibukota Kabupaten yaitu di Buranga, namun kenyataannya tidak
sesuai dengan Undang - Undang tersebut melainkan pembangunannya di pusatkan di
Ereke, Faktor inilah menjadi titik awal konflik berkepanjangan di masyarakat.
Salah satu strategi dan teknis dalam upaya
penyelesaian konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara adalah
dengan cara bagaimana strategi komunikasi itu diterapkan. Strategi komunikasi yang dimaksud adalah
bagaimana cara mengubah opini, sikap dan perilaku terhadap berbagai komponen
yang terlibat dalam konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara untuk
melakukan komunikasi yang itensif dalam suasana kekeluargaan guna mencapai
titik kesamaan tentang persepsi penilaian
Ibukota
Kabupaten Buton Utara. Strategi komunikasi adalah suatu
perencanaan dan manajemen dalam upaya menyelesaikan konflik, sebab hanya
dengan melakukan komunikasi yang intens antara berbagai elemen maka seluruh
elemen yang terlibat dalam konflik pada penempatan ibukota dapat terselesaikan
dengan baik.
Kajian ini lebih terfokus pada strategi kominikasi dalam upaya penyelesaian
konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Konflik merupakan
sesuatu yang alamiah dan sesuatu yang
tidak bisa dilepaskan dari setiap kehidupan sosial masyarakat. Selama
masyarakat masih memiliki kepentingan, kehendak serta cita – cita konflik
senantiasa akan mengikuti mereka. Sebab dalam upaya untuk mewujudkan apa yang
mereka inginkan pastilah ada hambatan – hambatan bahkan mungkin bisa terjadi
benturan – benturan karena adanya kepentingan antara individu dengan individu,
kelompok dengan kelompok maka konflik sudah jelas akan selalu berada pada
mereka.
Strategi komunikasi dalam upaya menyelesaikan
konflik dapat diposisikan sebagai sebuah sarana dan wujud kebersamaan antara
berbagai komponen masyarakat yang terlibat dalam konflik. Saat ini intensitas
komunikasi antara berbagai elemen masyarakat di Buton Utara dalam rangka
menyelesaikan konflik telah dilakukan walaupun
hasilnya belum optimal karena masih ada pertentangan pendapat dan keinginan
yang belum sejalan, namun telah dicapai kemajuan yang cukup berarti. Hal ini
dapat dilihat dengan menurunya unjukrasa dan perlawanan terhadap penempatan
ibukota Kabupaten buton utara yang menyalahi ketentuan Undang – Undang No 14
Tahun 2007.
Konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton
Utara dan strategi komunikasi dalam menyelesaikan konflik merupakan suatu fenomena yang sangat menarik
untuk diteliti. Penelitian tentang bagaimana strategi komunikasi dalam upaya
penyelesaian konflik antara berbagai kalangan dan fenomena yang terlibat
konflik dapat disatukan dalam suatu kesamaan pemahaman, penilaian dan persepsi
melalui komunikasi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik meneliti konflik penempatan ibukota
kabupaten Buton Utara dengan melalui judul ” Strategi komunikasi dalam penyelesaian konflik pada
penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara” ( Studi
Komunikator pada pemerintah daerah kabupaten buton utara ).
1.1
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas,
penulis merumuskan masalah pokok yakni
“ Bagaimana Strategi Komunikasi Dalam
Penyelesaian Konflik Pada Penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara ?
1.2
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.2.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan mengambarkan :
1.
Untuk
mengetahui bagaimana strategi komunikasi dalam upaya menyelesaikan terjadinya
konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
2.
Untuk mengetahui bagaimana
latarbelakang terjadinya konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
1.2.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat baik secara teoristis praktis maupun metodologis
1.
Secara teoristis diharapkan dapat
menambah khzanah keilmuan dan menambah referensi tentang masalah konflik dalam
kaitanya dengan komuikasi
2.
Secara praktis penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan
kebijakan dalam uapaya penyelesaian konflik khususnya Ibukota Kabupaten Buton
Utara
3.
Secara metodologis diharapkan
dapat memberikan alternatif maupun referensi bagi yang ingin melakukan kajian
tentang konflik pada bidang kajian yang sama
1. 3 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran umum tentang materi
keseluruhan skripsi ini, penulis mengurayakan dalam beberapa bab sebagai
berikut
Bab I Pendahuluan yang memuat tentang urayan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sisitematika penulisan
Bab II Tinjauan pustaka yang memuat tentang konsep – konsep dasar
komunikasi, hubungan komunikasi dengan konflik, pengertian umum tentang
konflik, perspektif tentang konflik, teori-teori
utama mengenai sebab-sebab konflik , konsep
strategi komunikasi, konsep dan teori – teori dalam konflik dan kerangka pemikiran
BAB III Metode Penelitian yang memuat tentang lokasi penelitian, subyek
dan imforman, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan konseptualisasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN
KERANGKA PIKIR
2.1 Teori – Teori Dasar Komunikasi
Istilah komunikasi menurut Effendi ( 1992 ),
yaitu berasal dari perkataan bahasa
latin commuicatio yang berarti “bemberitahuan” atau “ bertukar pikiran “ . Dengan demikian secara
garis besar dalam suatu proses harus terdapat unsur – unsur kesamaan makna agar
terdapat suatu pertukaran pikiran atau
pengertian antara komunikator ( penyebar pesan ) dan komunikan ( penerima pesan
). Stone ( Widjaja, 1998 : 14 ) komunikasi merupakan sebagai proses Dimana
seseorang berusaha memberikan pengertian dengan cara memindahkan pesan – pesan.
Hovland ( Effendy, 1993 : 15 ) komunikasi merupakan sebuah proses mengubah
perilaku orang lain.
Sementara itu beberapa pakar komunikasi seperti
: C. Hovland, janis dan Kelly, Fordale, Bren
D. Ruben, dan Gerald R. Miller
seara umum sepakat mendefinisikan komunikasi sebagai kegiatan mengirim dan mempengaruhi sebagai sebagai sebuah
proses yang berlangsung secara utuh kepada individu, kelompok, dan organisasi
melalui mekanisme tertentu ( simbol, sinyal,ide pengetahuan dan keterampilan )
dengan maksud mengubah dan memelihara sisitem tertentu ( Tubbs dan Mons dalam
Sumadi Dilla, 2007 )
Definisi diatas jelas bahwa kegiatan komunikasi
merupakan usaha mengarahkan pesan – pesan yang sengaja dilakukan kepada pihak
lain dengan tujuan untuk mendapatkan perubahan yang di inginkan baik itu
pikiran, perasaan, maupun tindakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam
proses komunikasi adalah usaha persuasi yang dapat digunakan dalam usaha –
usaha perubahan dalam arti luas termasuk dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan atau sebuah konflik.
Menurut Ruben dalam Arni ( 1992 ), komunikasi
adalah suatu proses melalui individu, kelompok, organisasi dan masyarakat,
menciptakan, penyampaian, dan
menggunakan imformasi untuk mengkordinasikan lingkunganya dengan orang lain.
Effendi ( 2005 ), komunkasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, perilaku,
baik langsung maupun tidak langsung dengan melalui media.
Proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer imformasi “ atau pesan – pesan
sebagai komunikator dan penerima pesan sebagai komunikan. Komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan dengan perasaan yang disadari,
sebaliknya komunikasi akan gagal apabial pesan yang disampaikan dengan perasaan
yang didak terkontrol. Tujuan dari proses komunkasi adalah tercapainya saling
pengertian antara kedua belah pihak.
Proses
komunikasi dapat dibagi atas dua tahap yakni secara primer dan secara sekunder
:
1.
Proses komunikasi secara primer
adalah penyampaian pikiran seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
lambang sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi
adalah bahasa, isyarat, gambar, gambar dan lain sebagainya yang secara langsung
mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
2.
Proses komunikasi secara sekunder
adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang
sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam
melancarkan komuniksinya karena sasaranya berada ditempat yang relatif jauh dan
jumlahnya banyak maka tepatnya ia menggunkak media kedua ini. Adapun media
kedua yang sering di gunakan meliputi : surat, telepon majalah, radio, TV dan
sebagainya.
Pengertian lain dari komunikasi juga
dikemukakan oleh beberapa pakar yakni I.G. Wusanto, bahwa komunikasi merupakan
sebuah proses pengopearasian/penyampaian warta berita / imformsai yang mengandung arti dari pihak
satu kepihak lain dalam usaha mendapatkan pengertian. Carl I. Hauland,
komunikasi adalah proses penyampaian pesan dimana seorang individu atau
komunikator mengoperkan perangsang, biasanya dengan lambang bahasa, untuk
mengubah tingkahlaku individu yang lain.
2.2 Teori Konflik
Masyarakat mana pun didunia ini, selalu
mengalami persaingan dan benturan kepentingan sosial antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya dalam menjalankan berbagai aktifitas hidup
bermasyarakat. Konflik didefinisikan sebagai persaingan antara individu atau
antara kelompok. Lewis A.
dalam Rifai Nur dkk ( 1999 : 88 ), menyatakan bahwa konflik adalah
perselisihan mengenai nilai – nilai atas tuntutan yang berkenaan dengan status,
kuasa dan sumber – sumber kekayaan yang sedang persediaanya tidak mencukupi,
dimana pihak – pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh barang yang di inginkan melainkan juga memojokan, merugikan dan
merugikan dan menghancurkan lawan
mereka.
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat
dipertegas bahwa konflik yang terjadi dikalangan masyarakat selalu berkenaan
dengan adanya tuntutan nilai – nilai untuk memenuhi kebutuhan hidup dimana
masing – masing pihak saling bersaingan atau berkompetisi untuk memperoleh
barang yang di inginkan antara individu dengan kelompok masing – masing saling
menjatuhkan lawan – lawanya tanpa mengenal batas kemanusiaan.
Menurut Dahrendorf dalam teori konflik atau
koersir maka tiap – tiap masyarakat disegala bidang kehidupanya mengalami
proses – proses perubahan sosial terdapat dimana – mana, tiap – tiap masyarakat
memperlihatkan perbantahan, dan konflik disegala bidangnya, konflik sosial ada
dimana mana. ( Rifai Nur dkk ).
Berdasarkan pengamatan ini, berarti di setiap masyarakat yang mengalami konflik
selalu mengalami proses perubahan dan proses perubahan sosial itu selalu ada
dan bahkan terdapat disegala lapisan masyarakat.
Disisi lain
konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan disadari
antara individu – individu atau kelompok – kelompok untuk mencapai tujuan yang
sama. Kekalahan pihak lawan dianggap sangat penting daam mencapai tujuan,dalam
konflik orientasi kearah pihak lawan lebih penting ( Achmad Fedyani Saifuddin,
1987 : 7 ).
Menurut Coser dalam Achmad Fedyani saifuddin
(1987:7-8), menyatakan bahwa konflik adalah suatu gejala yang wajar terjadi
dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan kebudayaan.
Bahkan George
Simmel bapak sosiologi mengemukakan ungkapan yang terkenal “ jika menghendaki
perdamaiyan hendaknya bersiap – siap untuk perang secara tersirat “ ungkapan
ini berarti adanya kesinambungan antara konflik dan integrasi, antara kekacauan
dan keteraturan secara terus menerus.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang dalam proses perkembanganya tidak
mengalami konflik sosial. Menurut Gerts dalam Ahmad Fedyani Saifuddin ( 1986 :
97- 68 ), berpendapat bahwa kelompok – kelompok yang berkonflik sesungguhnya
saling berkaitan satu sama lain. Secara komplementer dan secara bersama – sama
berada struktur sosial masyarakat yang lebih luas dengan kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan sebagai pegangan umum. Dengan kata lain bahwa pada saat yang
sama tercipta kondidsi terintegrasi diantara para penganut paham yang berbeda
dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol – simbol yang berlaku.
Konflik berfungsi menegakan dan mempertahankan
identitas dan batas - batas kelompok sosial dan masyarakat, konflik antara satu
kelompok dengan kelompok lain memungkinkan ditegaskanya kembali identitas
kelompok satu sama lain dan mempertahankan batas – batasnya terhadap lingkungan
sosial diluarnya.
Kamus Ensiklopedia Umum ( 1991 ),dalam salimtiah ( 2001: 26 )
memberikan pengertian konflik ( kengketa ) bahwa konflik terjadi oleh karena
dua kekuasaan atau keadaan yang bertentangan, bisa terjadi berupa : (a)
sengketa antara individu, (b) seseorang dengan masyarakatnya. Berdasarkan
penjelasan ini konflik adalah suatu sengketa antara dua kekuatan yang saling
bertentangan, baik antara individu, maupun dengan individu dengan masyarakat. Adapun teori konflik dalam masyarakat dapat
di lihat sebagai berikut:
a. Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang
terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda
dalam suatu masyarakat.Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian
antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b. Teori Kebutuhan Manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau
dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas,
pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran: mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan
untuk memenuhi kebutuhan itu.
c. Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang
tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk
melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu
yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang
terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas lokakarya
dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat
mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun
empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori Kesalah Pahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi
di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada
pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan
keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketida ksetaraan
dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan
ekonomi. Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang
menyebabkan ketidak setaraan dan ketidak adilan termasuk kesenjangan ekonomi,
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang
berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
2.3 Tinjauan Tentang Konflik
Berdasarkan realistis yang ada
konflik dalam penelitian ini merupakan adanya perbedaan persepsi penempatan
Ibukota yang melibatkan dua daearah yakni kecamatan Bonegunu dan kecamatan
Kulisusu sehingga menimbulkan anarkis. Dimana sebagian masyarakat
mempertahankan letak ibukota dan pembangunanya di Buranga sesuai amanah Undang
– Undang Nomor 14 tahun 2007 tentang pemekaran Ibukota kabupaten Buton Utara
dengan cakupan wilayah enam kecamatan yang beribukota di Buranga. dipihak lain
berpendapat bahwa tepatnya Ibukota kabupaten Buton Utara dikecamatan kulisusu,
karena Buranga tidak memenuhi persyaratan dan akan merugikan daerah sebab
buranga tepatnya difungsikan sebagai daerah pertanian.
Menurut Webster dala.
(2004 : 9) Pruitt,dkk bahwa istilah konflik adalah suatu perkelahian,
peperangan atau perjuangan yakni berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak. Tetapi kemudian berkebang dengan masuknya ketidak sepakatan yang tajam atau
oposisi atas berbagai kepentingan, ide – ide dan lain – lain(
Pruitt,dkk.,2004:10 ).
Menurut Dwipayana,
dkk.,(2001:10) menjelaskan tiga bentuk konflik yakni (a) Konflik
Horizontal merupakan bentuk konflik yang terjadi dikalangan warga masyarakat,
baik dalam skala kecil maupun skala besar. (b), konflik vertikal yakni bentuk
konflik antara warga masyarakat dengan pemerintah baik dalam skala kecil maupun
skala besar.(c), konflik multidimensi yaitu konflik yang bersifat tumpang
tindih antara dimensi horizontal dan vertikal.
Tunbuhnya tata tertib
sosial atau sisitem nilai yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat sama
sekali tidak tidak berarti lenyapnya konflik didalam masyarakat. Sebaliknya,
tumbuhnya tatatertib sosial justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat
potensial dalam setiap masyarakat. (Nasikum,2007:17).
2.3.1
Koflik Dan Masyarakat
Teori konflik yang
terkenal dalam sosiologi tergolong atas dua kelompok yakni (a) Teori Konflik
Fungsional, (b) Teori Konflik kelas. Kedua koflik ini berkar dari dua tokoh
besar sosiologi yaitu Georg Simmel dan Karlmax. Pemikiran Gerog Simmel kemudian
diikuti oleh Lewis Coser dan pemikiran Kar Max di ikuti oleh Ralf Dahrendorf.
Menurut Louis Pandy dalam Said D. (1996: 20)
konflik dikelompokan dalam lima bagian yakni:
1.
Latent Conflict yakni mengambarkan suatu situasi dimana didalamnya
terdapat kondisis – kondisi persaingan dalam memperoleh sumberdaya langka
dorongan untuk mengelola sendiri, atau adanya perbedaan pencapaian tujuan
2.
Perceived Conflict yakni masing –
masing pihak menganggap kondisi – kondisi konflik dan diantara mereka juga
tidak memahami posisinya masing – masing secara benar
3.
Felt Conflct ini mengambarkan
bahwa suatu tahapan dimana para anggota yang konflik tidak hanya menyadari
adanya konflik itu, tetapi juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan
kata lain kondisi konflik itu sudah mempengaruhi mereka
4.
Manifest Conflict hal ini terjadi
pada suatu tahapan dimana ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka ini
sudah disalurkan (diungkapkan melalui agrasi terbuka atau melalui alat –
alat rahasia )
5.
Conflict Aftermath, tahapan ini
menunjukan hasil setelah konflik, pada tahapan ini kondisi – kondisi laten
dapat menjadi konflik yang lebih berat apa bila tidak ditekan atau dipecahkan.
Setiap kehadiran konflik didalam kelompok
masyarakat selalu ada upaya penyelesaian atau meredakan konflik yang
dikembangkan oleh para ilmu sosial. Berdasarkan paradigma konflik anggotanya
dapat dikelompokan kedalam dua kategori yaitu orang yang dikuasai dan orang yang
menguasai. Dualisme ini termasuk struktur dan hakekat tiap – tiap kehidupan
bersama mengakibatkan kepentingan – kepentingan yang berbeda dan mungkin
saling berlawanan. Pada giliranya
diferensiasi kepentingan dapat melahirkan kelompok yang berbenturan.
Konflik tidak hanya selalu bersifat
disfungsional dalam konteks hubungan dimana konflik tersebut terjadi.
Sebaliknya seringkali konflik diperlukan untuk mempertahankan hubungan tersebut
tanpa cara – cara menyalurkan kebencian satu samalain. Oleh karena itu konflik
dapat berfungsi sebagai kutub pengaman sehngga sistem sosial tersebut dapat
dipertahankan dalam batas - batas
tertentu.
Dalam hal ini terjadinya konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton
Utara adalah tidak terlepas dari kurangnya kesadaran masrakat, serta lemahnya
perangkat hukum yang ada, khususnya Undang – Undang No 14 tahun 2007 tentang
ketetapan penempatan ibukota Kabupaten Buton Utara di Buranga.
2.3.2
Analisis Dan Pemetaan Konflik
Analisis konflik dapat
dilakukan dengan sjumlah alat bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan
sesuai. Alat batu untuk menganalisis situasi konflik menurut Fisher
dkk(2001:19) terdiri dari :
1.
Prakonflik : ini merupakan periode
dimana terdapat ketidak sesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih,
sehingga menimbulkan sebuah konflik.konflik tersembunyi dari pandangan
umum,meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya
konfrontasi.
2.
Konfrontasi : pada tahap ini
konflik menjadi semakin terbuka,jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah,
mungkin para pendukungnya akan mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontasi lainya.
3.
Krisis : ini merupakan puncak
konflik ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam
konflik skala besar ini merupakan periode perang ketika orang – orang dari
kedua pihak terbunuh.
4.
Akibat : suatu krisis pasti akan
menimbulkan suatu akibat apa bila dalam suatu masalah tidak dapat terselesaikan
dengan baik
5.
Pasca konflik : situasi
diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan
dan hubungan yang mengarah kearah lebih normal diantara kedua pihak
Suatu konflik perlu adanya suatu analisis
Fisher dkk. (2001:17), menyatakan bahwa konflik diperlukan suatu anlisis yakni
: (a) untuk memahami latar belakang dan sejarah situasi dan kejadian kejadian
saat sekarang (b) untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak
hanya kelompok yang menonjol saja (c) untuk memahami pandangan semua kelompok
dan lebih mengetahui bagaimana hubungan satu sama lain (d) untuk mengidentifikasi
faktor – faktor dan kecenderungan – kecenderungan yang mendasari konflik, dan
(e) untuk belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
2.4 Konflik dan
Penyebabnya
2.4.1
Sebab-Sebab Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap
orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata
ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri: Hal
ini dapat di lihat pada faktor penyebab konflik berikut:
1.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.
2.
Perbedaan kepentingan
antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda.
3.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
2.4.2
Manajemen
Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian
aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen
konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun
pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan
interpretasi. Bagi pihak luar (di luaryang berkonflik) sebagai pihak ketiga,
yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal
ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada
kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan
langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka
mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama
dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau
pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku)
para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran
terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik
secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus
dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan
tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan
penyelesaian konflik. Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen
konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan
kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa
pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus
mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.
Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa
manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan
terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi
karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka
dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan
untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung
dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang
mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
2.5 Strategi
Komunikasi Dalam Upaya Penyelesaikan
Konflik
2.5.1 Konsep Strategi Komunikasi
Istilah strategi berasal dari bahasa yunani “ strategoe ” atau “
strategos“ dengan kata jamak strategi ( Salusu : 1996 ) didefisiskan
sebagai suatu seni yang mengutamakan kecakapan sumberdaya suatu organisasi
untuk mencapai suatu sasaran melalui suatu hubungan efektif dengan lingkunganya
dalam kondisi yang menguntungkan.
Menurut Arifin ( 1994 ), strategi adalah
keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna
mencapai tujuan. Selanjutnya pengertian lain tentang strategi dikemukakan oleh
Effendy (1990),
bahwa strategi pada hakekatnya adalah suatu perencanaan dan manajemen
untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi dalam mencapai suatu tujuan tersebut
strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukan arah saja
melainkan harus menunjukan bagaimana taktik operasionalnya.
Effendi ( 1990 ), mengemukakan strategi
komunikasi adalah rencana meliputi metode, teknik dan tata hubungan fungsional
antara unsur – unsur dan faktor – faktor dari proses komunikasi guna kegiatan
operasionalnya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Makna dalam strategi komunikasi adalah pemahaman
dan pengetahuan yang sama sehingga dapat dikatakan komunikatif. Kegiatanya
tidak hanya menyampaikan imformasi tetapi juga mengandung unsur persuasif yakni
agar orang lain bersedia menerima suatu pemahaman dan pengaruh, sebab pada
prinsinya komunikatif yang efektif adalah :
1.
Bagai mana mengubah opini
2.
Bagaimana mengubah sikap
3.
Bagaimana mengubah perilaku
Titik sentral setiap kegiatan komunikasi adalah
imformasi yang merupakan kegiatan manusia yang setiap harinya melakukan proses
komunikasi, dalam proses komunikasi keberhasilan untuk memperoleh dukungan,
pengertian dan pemahaman dari khalayak tergantung dari kondisi yang ada
termasuk semua unsur yang terdapat pada komunikasi.
Seitoe dalam Ruslan ( 1997 ), bahwa strategi
komunkasi adalah suatu kegiatan manajemen untuk melakuakan komunkaisi sehingga
dapat menimbulkan suatu pemahaman dalam rangka menyusun suatu rencana jangka
panjang. Achmad S. Adnan Putra dalam Ruslan ( 1997 ), juga mendefinisikan bahwa strategi komunikasi adalah suatu
alternatif optimal yang dipilih untuk mencapai tujuan dalam rangka menyusun
suatu rencana jangka panjang.
Jadi strategi komunikasi adalah rencana yang
meliputi metode teknik dan tata hubungan fungsional antara unsusr – unsur dan
faktor dari proses komunkasi guna mencapai kegiatan operasionalnya demi
tercapainya tujuan dan sasaran. Dari penjelasan ini jelas bahwa strategi
komunikasi erat hubunganya antara tujuan yang hendak dicapai dengan konsekuensi
yang diperhitungkan sebelumnya dengan
jasil yang diharapkan.
Fisher ( 2001 ), menyebutkan salah satu
strategi komunikasi penting yang harus dilakukan dalam menyelesaikan konflik
adalah menciptakan suasana komunikasi yang terbuka dan jujur. Hal ini
menunjukan bahwa komunikasi sangatlah memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia yang tidak bisa dipisahkan dengan kominiaksi.
Implikasi tersebut, selain membantu mempermudah
komunikator atau sumber komunikasi juga akan memberikan kerangka acuan
perumusan isi pesan yang etis, termasuk mengenal khalayak sasaran komunikasi,
bahkan dari itu akan mengurangi resiko kegagalan komunikasi. Namun sebaliknya
apa bila isi pesan tidak mencerminkan
aspek sosial budaya akan menuai kritik dan dan munculnya penolakan dari
khalayak ( Dilla,2007 ).
Menurut Ruben dalam Arni (1992), komunikasi adalah suatu proses
melalui individu berhubungan kelompok organisasi dan masyarakat, menciptakan,
menyampaikan, dan menggunakan impformasi untuk mengkordinasikan lingkungannya
dengan orang lain. Sedangkan menurut Effendi ( 2005 ), komunikasi merupakan
proses penyampaian pesan oleh seseorang.
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin
dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak
tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan
penyelesaian konflik ialah :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
Rogers dan Adhikarya
(1979) menyusun strategi komunikasi dengan prinsip – prinsip antara lain :
1.
Pendekatan
Celling Effec dengan mengkomunikasikan
pesan – pesan gar khalayak dapat mengejar ketertinggalanya
2.
Pendekatan
Narrof Casting atau mengalokasikan
pesan – pesan bagi khalayak.
3.
Pemanfaatan
saluran tradisional dan
4.
Menciptakan
mekanisme keikutsertaan khalayak
2.5
Kerangka Pemikiran
Untuk
dapat menyelesaikan konflik tentang penempatan Ibu kota Kabupaten Buton Utara,
tentunya harus mengetahui penyebab dari konflik tersebut. Dengan mengetahui
penyebab diharapkan dapat di selesaikan dengan baik, strategi komunikasi sangat
tepat untuk menyelesaikan masalah konflik Ibu kota Kab. Buton Utara, pandangan
teori konflik bahwa masyarakat selalu dalam perubahan, dan setiap elemen dalam
masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat.
Adapun
penyebab adanya konflik secara sederhana adalah sebagai berikut (Liliweri,
2005:260 -) (a) konflik nilai, hal ini biasanya disebabkan karena adanya
perbedaan nilai (b) kurangnya komunikasi, hal ini komunikasi tidak dapat di
anggap sepeleh karena terjadinya suatu konflik biasa terjadi karena adanya dua
belah pihak yang kurang komunikasi , dan (c) kepemimpinan yang kurang efektif,
secara politis kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang kuat, adil dan
demokratis
Setelah
mengetahui penyebab adanya suatu konflik maka dapat kita simulasikan untuk mencoba berbagai alternatif teoritis dan
bagaimana strategi komunikasi untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi.
Secara umum, untuk menyelesaikan suatu konflik dapat kita lihat pada istilah
berikut : (a), pencegahan adanya konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya kekerasan dalam konflik, (b) penyelesaian konflik; bertujuan untuk
mengakhiri kekerasan melalui persetujuan perdamaian, (c) strategi komunikasi;
bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah dalam konflik dengan melalui cara
atau metode – metode dan taktik dalam menyelesaikan konflik yang ada. (d) pengelolaan
konflik; bertujuan untuk mengatasi masalah yang terlihat agar dapat berprilaku
posisitif. (e), Resolusi konflik; bertujuan untuk menangani sebab – sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang relative dapat bertahan lama
di antara kelompok – kelompok yang bermusuhan (Fisher, 2001: 14)
Intervensi
komunikasi dalam penyelesaian konflik adalah melalui penelaahan, substansi,
latar belakang konflik, pengetahuan dan pemahaman tentang identitas dan
karakter para actor yang terlihat, strategi komunikasi akan di lakukan oleh
komunikator dalam melakukan penyelesaian konflik .
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik
secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Gambar:
Skema Kerangka Pemikiran
Konflik Penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara
Dasar terjadinya konflik
1. Usulan Pemekaran Kabupaten Buton Utara
2. UU No 14 Tahun 2007 ttg pemekaran Kab. Buton
Utara
3. Pleno DPRD Kabupaten Buton Utara
4. Surat Mendagri
5. Surat
Gubernur Sulawesi Tenggara
Pemerintah
bentuk – bentuk konflik Masyarakat
1. konflik
horizontal
2. konflik vertical
3. konflik
multi dimensi
Manajemen Konflik
Fisher dkk
(2001:7)
1. Pencegahan konflik
2. Penyelesaian konflik
3. Pengelolaan konflik
4. Resolusi konflik
5. Transformasi konflik
Komunukasi
partisipasi
Roger, dan adi
karya dalam Dilla, 2007: 159- 161
1. Pendekatan Celling
effec
2. Pendekatan narrow
casting
3. Pemanfaatan saluran tradisional
4. Menciptakan mekanisme keikutsertaan masyarakat
Resolusi Konflik Penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara pada saat penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dipertentangan dari berbagai elemen –
elemen masyarakat yang ada di Kabupaten Buton Utara.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif dengan menggunakan stategi case study (studi
kasus), yaitu untuk mengetahui bagaimana strategi komunukasi yang dilakukan
sebagai upaya penyelesaian konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton
Utara.
3.3 Imforman dan Teknik Pemilihan Imforman
3.3.1 Imforman Penelitian
Imforman adalah orang yang di wawancara untuk memberikan data dan imformasi tentang situasi dan kondisi mengenai
masalah penelitian. Imforman dalam penelitian ini adalah Bupati Buton Utara
yang terpilih/ Wakil Bupati Buton Utara, ketua DPRD Buton Utara/Wakil Ketua DPRD Buton Utara,dan Kepala Badan Kesbang
Politik dan Linmas Kabupaten Buton Utara
3.3.2 Teknik Penentuan
Imforman
Tenik penentuan imforman yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling yaitu teknik penentuan imforman yang mula – mula
jumlahnya kecil kemudian membesar. Dalam penentuan sampel (imforman), pertama
dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa
lengkap dengan data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang
dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang dibrikan oleh dua orang
sebelumnya. Begitu seterusnya sehingga jumlah sampel lebih banyak.
(Sugiono,2007:85-86).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam (in-depht interview) dan dokumentasi.
Wawancara mendalam terutama akan dilakukan pada imforman kunci. Untuk membentuk dan memudahkan dalam proses pengumpulan data primer,penelitian menggunakan
instrumen pengumpulan data penelitian berupa,buku catatan
lapangan, panduan wawancara, tape recorder dan kamera (MP 12). Selain data primer, peneliti juga memutuhkan data
sekunder sebagai data pendukung dalam penelitian ini yang diperoleh melalui
media massa, hasil – hasil penelitian, dan sumber lain yang relevan dengan topik dalam penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data
Data penelitian yang akan dihimpun selanjutnya akan
diolah dan dianalisis. Analisis data dilakukan dari awal hingga akhir penelitian. Komponen – komponen analisis data
mencakup reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), dan
penarikan kesimpulan secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah
pengumpulan data (Salim,2006:22-23). Setelah data dianalisis, selanjutnya akan
ditarik kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab seluruh permasalahan dalam
penelitian ini.
3.6 Desain Operasional
Unit Analisis
|
Struktur Kerangka Analisis
|
Teknik Pengumpulan Data
|
Dasar konflik
|
1. UU No 14 Thn 2007
Tentang Ibukota Buton Utara
2. Keputusan pleno DPRD
3. Surat mendagri
4. Surat Gubernur Sultra
|
Wawanracara
Dan
dokumentasi
|
Bentuk Konflik
Manajemen Konflik
|
1. Horizontal
2. Vertikal
3. Multidimensi
Fisher Dkk (2001:7)
1. Pencegahan konflik
2. Penyelesaian konflik
3. Pengelolaan konflik
4. Resolusi konflik
5. Transformasi konflik
|
|
Strategi komunikasi dalam upaya penyelesaikan
konflik
|
Komunikasi partisipasi
Roger, dan adi karya dalam Dilla, 2007: 159-
161
1. Pendekatan Celling effec
2. Pendekatan narrow casting
3. Pemanfaatan saluran tradisional
4. Menciptakan mekanisme keikutsertaan
masyarakat
|
3.7
Konseptualisasi
- Konflik dalam penetian ini adalah terjadinya pertentangan tentang penempatan Ibukota Kab. Buton Utara yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2007.
- Starategi komunikasi dalam penelitian ini adalah langkah – langkah apa yang di lakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya penyelesaian konflik pada penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
- Dasar terjadinya konflik adalah UU Nomor 14 Tahun 2007, tentang pemekaran Kab. Buton Utara dengan Ibukota Buranga. Pleno DPRD Kab. Buton Utara Mei 2010. Mentri dalam Negri dan Gubernur Sultra memeperkuat keputusan tentang UU Nomor 14 Tahun 2007 tentang penempatan Ibukota Buton Utara di Buranga.
4.
Perbedaan/persamaan
persepsi /penilaian dalam komunikasi ; dalam penelitian ini adalah adanya
perbedaan/pertentangan dalam pandangan dan pemahaman tentang penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara
5.
Pendekatan Celling
Effect, adalah komponen dalam komunikasi partisipasi yang di lakukan dengan
cara mengefektifkan komunikasi dan pesan yang disampaikan agar khalayak secara
keseluruhan mengetahui dan memahami setiap isi pesan dan komunikasi secara
merata dalam Penyelesaian konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
- Pendekatan Narrow Casting adalah komponen dalam komunikasi partisipasi yang dilakukan dengan cara mengalokasikan setiap pesan dan tindakan komunikasi sehingga khalayak terlibat secara keseluruhan dalam setiap aktifitas komunikasi dalam penyelesaian konflik
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran
Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Sejarah
Terbentuknya
Kulisusu/Kolencusu
merupakan salah satu dari empat benteng pertahanan Barata Patapalena (cadik
penjaga keseimbangan perahu Negara) dimasa Kesultanan Buton. Barata Kulisusu
bersama-sama dengan Barata Muna, Barata Tiworo dan Barata Kaledupa merupakan
pintu-pintu pertama pertahanan sebelum musuh masuk ke dalam wilayah pusat
kekuasaan di kota Bau-Bau. Oleh karena itu keempat barata ini memiliki peranan
yang penting dalam menjaga keselamatan Negara. Barata-barata ini diberi hak
otonom untuk mengatur sendiri daerahnya
termasuk memiliki tentara sendiri, namun
dengan batas-batas pengaturan yang sudah digariskan oleh pemerintah pusat
yang ada di Bau-Bau. Namun perlu diketahui bahwa masing-masing barata dimaksud
di atas memiliki symbol yang yang berbeda dimana u ntuk Barata Kulisusu memakai
symbol “Lipu Tinadeakono Sara”. Berdasarkan sejarah Buton Utara, “lipu tinadeakono sara” adalah
mengandung arti bahwa negeri yang dibangun dan didirikan berdasarkan SARA. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang pembentukan
Kabupaten Buton Utara di Provinsi Sulawesi tenggara yang merupakan pemekaran
dari Kabupaten Muna, maka pembangian wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten
Buton Utara meliputi 6 kecamatan yaitu : Kecamatan Kulisusu, Kecamatan
Kulisusu Barat, Kecamatan Kulisusu Utara, Kecamatan Wakarumba Utara, Kecamatan
Bonegunu dan Kecamatan Kambowa.
4.1.2
Keadaan
Wilayah
a.
Letak Geografis
Kabupaten
Buton Utara dengan luas wilayah 1.923,03 km2
(belum termasuk wilayah perairan), terletak di jazirah Sulawesi
Tenggara yang terletak dibagian Utara
Pulau Buton dan gugusan pulau-pulau disekitarnya. Secara administratif
Kabupaten Buton Utara terdiri dari 6 kecamatan dan 59 kelurahan/desa/ UPT.
Ditinjau dari letak geografisnya, Kabupaten Buton Utara terletak pada 4,6 LS –
5,15 LS serta membujur dari Barat ke Timur antara 122,59 BT – 123,15 BT dengan
batas-batas sebagai berikut :
Ø Sebelah
Utara berbatasan dengan Selat Wawonii
Ø Sebelah
Timur berbatasan dengan laut Banda
Ø Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton dan
Ø Sebelah
barat berbatasan dengan Selat Buton dan Kabupaten Muna
b. Topografis
Kabupaten Buton Utara merupakan dataran rendah dan
sebagian berbukit dengan keadaan tanah yang sangat subur terutama yang terletak
pada pesisir pantai sangat cocok untuk pertanian baik tanaman pangan maupun
tanaman perkebunan. Kabupaten Buton Utara terdiri dari barisan pegunungan dan
sedikit melengkung ke arah utara dan mendatar ke arah selatan dengan ketinggian
rata-rata antara 300 – 800 meter di atas permukaan laut, sedangkan bagian timur
sepanjang arah pegunungan merupakan daerah berbukit-bukit dan mendatar ke arah
pantai timur dengan luas bervariasi. Dataran rendah yang cukup luas yaitu Cekungan
Lambale <29.000 ha sejajar dengan Sungai Lambale dan Sungai Langkumbe.
c. Luas Wilayah
Kabupaten Buton Utara yang terdiri dari 2 matra
darat dan 2 matra laut. Luas wilayah daratan seluas 1.923,03 km2 dan
luas perairan sekitar 2.500 km2. Pembagian luas wilayah daratan
menurut kecamatan masing-masing :
1)
Kecamatan
Bonegunu : 491,44 km2 (25,56% dari luas total)
2)
Kecamatan
Kambowa : 303,44 km2 (15,78% dari luas total)
3)
Kecamatan
Wakorumba : 245,26 km2 (12,75% dari luas total)
4)
Kecamatan
Kulisusu : 172,78 km2 (8,9 % dari luas total)
5)
Kecamatan
Kulisusu Barat : 370,47 km2 (19,26% dari luas total)
6)
Kecamatan
Kulisusu Utara : 339,64 km2 (17,66% dari luas total)
d. Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Buton Utara berjumlah 48.184 jiwa
dengan luas wilayah sebesar 1.923,03 km2 mempunyai kepadatan
penduduk rata-rata 25 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat
penduduknya adalah Kecamatan Kulisusu sebesar 81 jiwa/km2, menyusul
Kecamatan Wakorumba sebesar 25 juta/km2, Kecamatan Kulisusu Utara
rata-rata 20 jiwa/km2, Kecamatan Kambowa sebesar 18 jiwa/km2,
Kecamatan Kulisusu Barat 17 jiwa/km2 dan yang paling jarang
penduduknya adalah Kecamatan Bonegunu sebesar 15 jiwa/km2.
4.2
Iklim Komunikasi Antar Personil Pemerintah Daerah, DPRD Dan Masyarakat Yang
Berhubungan Dengan Penempatan Ibukota
Setiap konflik yang terjadi di tengah
masyarakat akan menimbulkan efek negatif dalam proses kehidupan sosial di
tengah masyarakat. Efek dari konflik adalah adanya keresahan secara struktural
di kalangan masyarakat tempat kejadian, sehingga tatanan kehidupan sosial
kelompok masyarakat lain menjadi terganggu dan tidak stabil. Implikasinya
adalah lahirnya keinginan kelompok masyarakat untuk melakukan komunikasi sosial
yang intens antar sesama atau antar kelompok dalam rangka mencegah dan
mengatasi setiap peluang konflik, proses tersebut berlangsung dalam suatu
komunikasi sosial.
4.2.1
Kontinuitas & Frekuensi Komunikasi
Terjadinya
konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara tidak terlepas dari masalah
kontinuitas dan frekuensi komunikasi yang dilakukan oleh eksekutif dan
legislatif dengan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari kurangnya jumlah
komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah sebelum menjalankan kebijakan
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di Ereke yang menurut pernyataan
pihak pemerintah sebagai salah satu upaya percepatan pembangunan Kabupaten
Buton Utara setelah ditetapkan sebagai daerah otonom oleh Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007.
Menurut
penjelasan Kabag Humas pemerintah Kabupaten Buton Utara Alimin, tentang proses
penetapan Ibukota Kabupaten Buton Utara sebagai berikut : “Pilihan pemerintah Kabupaten Buton Utara terhadap
Ereke untuk menyelenggarakan proses pemerintahan semata-mata didasari
pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas, dimana posisi
strategis Ereke yang berada sangat dekat dengan komunitas masyarakat, sehingga
pelayanan masyarakat dapat dilakukan dengan mudah, adapun penetapan Ibukota
Kabupaten Buton Utara di Buranga akan dapat berjalan efektif setelah seluruh
proses pembangunan dan persiapan infrastruktur Kabupaten Buton Utara telah
dibangun dan siap digunakan” (wawancara, 2 Desember 2011)
Berdasarakan
uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa secara teknis dan prosedural, pemerintah
kabupaten tetap mengakui Buranga sebagai
Ibukota Kabupaten Buton Utara sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2007, namun penyelenggaraan pemrintahan yang saat ini
dilaksanakan di Ereke dimaksudkan agar pemerintah Kabupaten Buton Utara dapat
segera merealisasikan seluruh tugas-tugas pemerintahan dalam bentuk
pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan masyarakat dan tidak terganggu atau
terkendala oleh akses transportasi dan jarak yang jauh, karena berada di
kawasan Buranga.
Menurut
pandangan tokoh masyarakat yang dijadikan informan penelitian menjelaskan
sebagai berikut : “Ketetapan Undang-Undang mengenai penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara di Buranga, adalah suatu prosedur dan ketetapan yang
harus diikuti oleh seluruh penyelenggara pemerintahan di daerah, sehingga tidak
ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk tidak mematuhi
ketentuan aturan tersebut, termasuk memindahkan penyelenggaraan pemerintahan ke
tempat lain” (wawancara, 5 Desember 2011)
Uraian
di atas menunjukkan keinginan elemen masyarakat agar pemerintahan Kabupaten
Buton Utara menyelenggarakan pemerintahan di Buranga sebagai Ibukota Kabupaten
Buton Utara sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2007. Hal ini
merupakan suatu perbedaan dan pertentangan antara elemen masyarakat dengan
pemerintah.
Perbedaan
ini menjadi konflik yang terus berlangsung sejak tahun 2008 sampai dengan tahun
2011, dimana antara komponen yang terlibat konflik tidak pernah duduk bersama
untuk berkomunikasi dan menyamakan persepsi tentang efektivitas dan efisiensi
penyelenggaran pemerintahan.
Konflik yang telah
berlangsung hampir 3 tahun belakangan ini belum mendapat titik temu
penyelesaian karena minimnya intensitas dan frekuensi komunikasi antara
pemerintah (eksekutif dan legislatif) dengan masyarakat. Hal ini diakui oleh
pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam uraian wawancara dengan Kabag Humas
pemerintah Kabupaten Buton Utara sebagai berikut : “Selama ini pemerintah
Kabupaten Buton Utara menganggap bahwa masyarakat dapat memahami keberadaan pemerintahan
yang baru berjalan sehingga pemerintah terfokus pada upaya pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan, bukan pada perbedaan pendapat atau konflik tentang
Ibukota Kabupaten Buton Utara yang bukan menjadi dianggap permasalahan serius”
(wawancara, 2 Desember 2011)
Menurut penjelasan
sekretaris DPRD tentang komunikasi dengan masyarakat tentang penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara dijelaskan sebagai berikut :
“DPRD
tidak pernah merencanakan kegiatan dialog atau pertemuan dengan masyarakat
membicarakan masalah penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara, karena dianggap
bukan masalah yang harus dibahas secara spesifik, ini hanya menyangkut masalah
teknis dan perbedaan persepsi apalagi DPRD sudah bersurat sejak bulan Mei
berdasarkan hasil rapat paripurna” (wawancara, 7 Desember 2011)
Berdasarkan
uraian di atas dapat dinyatakan bahwa intensitas dan frekuensi komunikasi
pemerintah baik eksekutif dan legislatif kepada masyarakat yang dilakukan
secara formal dalam rangka membahas masalah penyelanggaraan kegiatan pemerintahan
yang saat ini berjalan di luar Buranga (Ereke) kurang harmonis. Hal ini
tentunya didasarkan pada asumsi dan pandangan pemerintah Kabupaten Buton Utara
bahwa isu dan perbedaan pandangan yang terjadi mengenai penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara hanya akan memperlambat proses penyelenggaraan
tugas-tugas pemerintah, tetapi tidak dianggap sebagai masalah yang serius.
Dari
pihak legislatif (DPRD Kabupaten Buton Utara) setelah membuat surat Nomor
145.2/56/DPRD/2011 tanggal 2 Mei 2011 yang pada intinya meminta pihak eksekutif
segera mengambil langkah-langkah konkrit pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
dan pembangunan yang diselenggarakan di Buranga sebagai Ibukota Kabupaten Buton
Utara, tidak terlihat adanya tindak lanjut yang signifikan oleh pihak eksekutif.
Kenyataan
tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa intensitas dan kualitas komunikasi
antara komponen penyelenggara pemrintahan di Kabupaten Buton Utara tidak
berlangsung dengan baik dan harmonis,
termasuk kemampuan politik DPRD melakukan tekanan kepada eksekutif untuk
menyelesaikan konflik tentang penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara.
4.2.2.
Suasana Komunikasi yang disharmonis
Sikap
dan tanggapan pemerintah yang tidak atau kurang memberikan respon terhadap
desakan dan tanggapan masyarakat tentang penyelenggaraan pemerintah di luar
Buranga (Ereke), menunjukkan bahwa suasana komunikasi yang kurang harmonis dan
berlangsung dinamis antara pemerintah Kabupaten Buton utara dengan masyarakat
menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berkepanjangan tentang
penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara.
Menurut
penjelasan informan masyarakat tentang suasana komunikasi yang terjadi antara
masyarakat dengan pemrintah mengenai penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
selalu berakhir dengan kegagalan dan kekecewaan karena tidak berlangsung secara
harmonis, sebagaimana dinyatakan dalam
wawancara berikut : “Pemerintah
sepertinya tidak peka dengan aspirasi masyarakat, termasuk itu DPRD Kabupaten
Buton Utara kalau diajak dialog soal penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
waktu-waktu pertama itu sepertinya tidak serius”
Berdasarkan uraian di
atas menunjukkan keharmonisan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten Buton Utara yang dispesifikkan pada penempatan Ibukota
Kabupaten Buton Utara, antara pemerintah dengan masyarakat kurang berjalan. Berdasarkan hasil wawancara di atas
memperlihatkan penyuaraan aspirasi masyarakat melalui kegiatan demonstrasi yang
menggambarkan adanya komunikasi yang tidak berlangsung harmonis antara
masyarakat dengan pemerintah Kabupaten Buton Utara dalam kebijakan pemerintah
mengenai penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara.
Menurut penjelasan
Kabag Humas pemerintah Kabupaten Buton Utara tentang suasana komunikasi antara
pemerintah masyarakat, dijelaskan sebagai berikut :
“Masyarakat kalau ada
maunya kadangkala tidak mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk etika dalam
mengemukakan pendapat sehingga mengganggu kelancaran tugas pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat luas, bukan berarti tidak ditanggapi tetapi
perhatian yang diberikan sebatas yang wajar-wajar saja” (Alimin, wawancara, 17
Desember 2011)
Berdasarkan penjelasan
di atas, dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan komunikasi yang dilakukan
dalam proses penetapan Ibukota Kabupaten Buton Utara berjalan kurang harmonis
menurut penilaian masyarakat, karena pihak pemerintah tidak memberikan respon
yang baik terhadap setiap aspirasi dan keinginan masyarakat yang disuarakan
melalui aksi demonstrasi dan pengungkapan opini melalui media massa.
Penyuaraan
aspirasi masyarakat dilakukan melalui media massa seperti harian Kendari Pos
dan Kendari Ekspres, juga menunjukkan respon yang kurang dari pihak pemerintah.
Dimana pada harian Kendari Ekspres menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh
masyarakat kepada pihak legislatif (DPRD Kabupaten Buton Utara) telah
menghasilkan jawaban berupa surat keputusan paripurna DPRD Kabupaten Buton
Utara, akan tetapi surat tersebut tidak dapat dijadikan alat komunikasi politik
dalam melakukan tekanan kepada penyelenggara pemerintahan.
Berdasarkan
uraian tentang intensitas dan frekuensi komunikasi serta suasana komunikasi
yang disharmonis yang terjadi dalam aktualisasi penetapan Buranga sebagai
Ibukota Kabupaten Buton Utara, sementara pihak pemerintah Kabupaten Buton Utara
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan.
Di
Ereke, kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik atau perbedaan dan
pertentangan berbagai komponen dalam lingkup kabupaten Buton Utara.
Posisi dan peran
komunikasi sebagai resolusi konflik, perlu ditempatkan secara tepat sehingga
dinamika komunikasi yang berlangsung dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan Kabupaten Buton Utara yang selama ini masih dilakukan di Ereke dan belum menempati buranga sebagai Ibu kota
Kabupaten Buton Utara, bukan dianggap masalah yang harus dipertentangkan secara
berkepanjangan dan menjadi konflik terbuka antara komponen pemerintah Kabupaten
Buton Utara dengan masyarakatnya.
Pemerintah
Kabupaten Buton Utara dalam mengupayakan solusi konflik, dalam menerapkan
fungsi-fungsi Komunikasi yaitu: (1) Komunikasi Sosial; (2) Komunikasi
ekspresif; (3) Komunikasi Ritual dan; (4) Komunikasi Instrumental. Hal ini akan
mengarahkan pemerintah Kabupaten Buton Utara untuk memberi dorongan mengubah
sikap dan perilaku, sebagai tujuan umum fungsi komunikasi dalam rangka resolusi
konflik.
Menurut
penjelasan Asisten 1 Sekretariat Daerah Kabupaten Buton Utara sebagai informan
penelitian, menjelaskan sebagai berikut: “Pemerintah Kabupaten Buton Utara selalu
mendahulukan komunikasi persuasif untuk mengupayakan tercapainya kesepahaman
dalam proses penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara, namun masyarakat kadang
tidak dapat memahami dan mengartikan secara lengkap setiap permasalahan yang
dihadapi pemerintah dan kebijakan pemerintah Kabupaten Buton Utara dalam
strategi penyelenggaraan pemerintahan, sehingga timbul penafsiran dan penilaian
negatif terhadap pemerintah Kabupaten Buton Utara’’ (Zaitu Ambo, wawancara 15
Desember 2011)
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas diketahui bahwa pemerintah Kabupaten Buton Utara
selalu mengupayakan terjadinya komunikasi harmonis dengan masyarakat, karena
komunikasi dapat digunakan untuk membangun, membentuk, memperbaiki hubungan
sosial dan pengembangan suatu masyarakat bahkan sebagai pendekatan strategis
dalam dalam mencapai tujuan. Tidak terkecuali dalam penyelesaian konflik. Tanpa
komunikasi, sulit rasanya melakukan keseimbangan, kesetaraan, dan keharmonisan
yang didambakan dalam kehidupan.
Potensi
komunikasi mempunyai peran kunci dalam memperkuat, membentuk dan mengubah
masyarakat. Perkembangan dunia yang didukung kemajuan teknologi informasi, dan
transportasi telah ikut mempengaruhi realitas perubahan sosial-budaya dalam
berbagai bidang kehidupan merupakan persoalan serius.
Komunikasi yang
intens dan efektif dapat menghasilkan keputusan dengan kualitas baik. Keputusan
yang dihasilkan merupakan produk kesepakatan anggota-anggota personal untuk
melakukan sesuatu dan biasanya merupakan
hasil pemilihan dari beberapa kemungkinan yang berbeda. Tidak semua keputusan
berasal dari masalah yang sangat berat, beberapa masalah kecilpun menuntut
penentuan keputusan. Misalnya, bila mana dan dimana pertemuan yang akan dating
dilaksankaan, prosedur bagaimana yang dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan
diskusi kelompok dan sebagainya. Kadangkala personal dalam suatu komunitas
masyarakat tidak mengetahui keputusan apa yang harus diambil dan kadangkala
proses pengambilan keputusan memerlukan waktu yang cukup lama. Apabila masalah
cukup kompleks, keputusan yang diambil melalui kelompok cenderung lebih efektif
bila dibandingkan melalui keputusan perorangan.
Dinamika
komunikasi social dimana didalamnya terjadi proses komunikasi antra persona
(antar pribadi) yang berfungsi meningkatkan kualitas hubungan komunikasi yang terjadi,
sehingga mampu meningkatkan hubungan antar individu yang semakin baik,
menyamakan persepsi antar individu sehingga perbedaan persepsi dan pandangan
sebagai faktor penyebab konflik dapat dihindari, serta mengurangi
ketidakpastian atas sesuatu dan perubahan sikap dan perilaku melalui
komunikasi.
4.3.
Pendekatan komunikasi sebagai resolusi konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
Komunikasi
sebagai resolusi konflik, adalah suatu keniscayaan yang absolute, karena hanya
dengan komunikasilah setiap permasalahan dan pertentangan dapat diselesaikan.
Olehnya itu, diperlukan berbagai pendekatan yang benar-benar dapat diandalkan
bagi upaya resolusi konflik mengenai penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten
Buton Utara yang selama ini tidak dijalankan di Buranga oleh pemerintah karena
pertimbangan efisiensi dan efektifitas, yang kemudian dianggap sebagai
pemangkiran terhadap Undan-Undang Nomor. 14 tahun 2007 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten Buton Utara.
Beberapa pendekatan yang dikemukakan
dalam desain penelitian, sebagaimana hasil observasi dan pengamatan lapangan
yang dilakukan peneliti, menunjukkan bahwa masing-masing komponen penyelenggara
pemerintah baik eksekutif maupun
legislatif serta masyarakat Kabupaten Buton Utara, memiliki orientasi dan cara
pandang yang berbeda tentang pendekatan yang lebih tepat dalam menyelesaikan
konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara.
4.3.1 Pendekatan
Ceiling Effect
Pendekatan Ceiling Effect adalah
kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
berdasarkan pendekatan yang lebih berorientasi pada keikutsertaan khalayak atau
masyarakat secara luas dalam memahami dan merumuskan upaya solusi konflik yang
dihadapi, sehingga masyarakat yang sebelumnya tidak tahu dan tidak paham
mengenai penyebab konflik dan mengetahui dan memahaminya dan kemudian merasa
terpanggil untuk berpartisipasi menyelesaikan konflik yang terjadi. Proses ini
merupakan proses komunikasi yang bertujuan menyampaikan pesan-pesan yang
diperlukan masyarakat dalam mengejar ketinggalannya dalam informasi.
Pendekatan Ceiling Effect merupakan pendekatan yang sangat tepat dalam
menyelesaikan konflik, dengan cara mengikut sertakan seluruh komponen dalam
masyarakat dimana konflik terjadi, untuk meyelesaikan konflik. Pandangan pihak
eksekutif pemerintah Kabupaten Buton Utara tentang pendekatan ceiling effect dalam menyelesaikan
konflik, dikemukakan dalam uraian berikut:
“pemerintah
Kabupaten Buton Utara sebenarnya ingin sekali mengikut sertakan seluruh masyarakat
dalam memikirkan upaya menyelesaikan pertentangan dan perbedaan pandangan
tentang penempatan Ibukota Kabupaten Buton utara yang selama ini berjalan,
namun dikhawatirkan dampak negatif yang bakal timbul dari upaya tersebut, yaitu
adanya pihak-pihak yang memprovokasi perbedaan pandangan ini menjadi konflik
yang lebih luas, sehingga pemerintah hanya meminta masyarakat untuk bersikap
tenang dan tidak terprovokasi oleh sikap dan perilaku serta informasi yang
tidak benar dari berbagai kalangan” (wawancara Alimin Kabag Humkas Pemerintah
Kabupaten Buton Utara, tanggal 25 Desember 2011)
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dinyatakan bahwa pendekatan ceiling
effect tidak dilakukan oleh pihak eksekutif pemerintah Kabupaten Buton
Utara sebagai suatu pendekatan dalam resolusi konflik, dengan pertimbangan
bahwa, pendekatan yang melibatkan masyarakat dalam memperoleh
informasi-informasi yang berhubungan dengan konflik akan berimplikasi negatif
terhadap masyarakat, karena dapat dimanfaatklan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan
dapat konflik, sehingga peluang mengikut sertakan masyarakat umum untuk
mengetahui dan memahami serta terlibat dalam upaya resolusi konflik, tidak
dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai salaah satu pendekatan dalam resolusi
konflik.
Partisipasi
masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah
dalam penyelenggaraan pembangunan
dan pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan konflik kepentingan
merupakan suatu pendekatan partisipatif berlandaskan semangat kebersamaan
(togetheeness, Communality) dalam mengartikulasikan dan mempersepsikan sesuatu dalam pikiran, sikap dan tindakan,
termasuk cara memecahkan masalah bersama. Konsepsi kebersamaan tersebut
menentukan tujuan proses komunikasi sehingga semua pihak yang terlibat
mempunyai kesempatan mempertukarkan dan merundingkan makna pesan (exchange and
negotiation of meaning) menuju keselarasan dan keserasian makna bersama (Bracht
dan Tsoourus, 1990 dalam Dilla, 2007).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa dalam pendekatan partisipatoris, semua permasalahan yang
dihadapi merupakan masalah bersama sehingga cara menyelesaikannya pun perlu
dipikirkan bersama. Karena aktifitas komunikasi terjadi dalam ruang lingkup (
public sphere) maka memungkinkan setiap orang dapat melakukan akses informasi
dan dialog terbuka secara merata. Terkait dengan hal ini, hubungan aspek nilai
sosial budaya lingkungan dan pengalaman partisipasi komunikasi di yakini
Defleur (1993) turut menjadi perhatian bersama. Jadi, pendekatan ini
menyiratkan adanya komitmen, itikad baik, dan kemauan untuk belajar bersama
dari pihak yang terlibat komunikasi dua arah secara bergantian.
4.3.2
Pendekatan Narrow Casting
Pendekatan narrow casting atau mengalokasikan penyampaian pesan bagi khalayak.
Dalam pendekatan ini diharapkan pemerintah dapat menggunakan media sebagai
salah satu sarana mengalokasikan penyampaian pesan kepada masyarakat sebagai
khalayak dalam menginformasikan dan memberikan pemahaman tentang strategi dan
kebijakan yang di jalankan, sehingga timbul penyamaan dan penilaian yang sama
untuk menyelesaikan konflik.
Menurut
penjelasan pemerintah Kabupaten Buton Utara tentang penggunaan media sebagai
sarana penyampaian pesan kepada khalayak, dikemukakan sebagai berikut:
“setiap
dimuat di Koran lokal tanggapan dari masyarakat yang bertentangan dengan apa
yang selama ini dijalankan oleh Kabupaten Buton Utara yang menyangkut
penyelenggaraan di Ereke, maka pemerintah akan memberikan jawaban yang sesuai
dengan faktanya, di mana pemerintah Kabupaten Buton Utara sendiri tetap
mengakui Buranga sebagai Ibukota Kabupaten Buton Utara, dan pembangunan
prasarana pemerintahan dan infrastruktur jalan,
di lokasi tersebut tetap berjalan walaupun kondisinya disesuaikan dengan dana yang tersedia,
sehingga masyarakat dapat memahami dan mendukung posisi pemerintah Kabupaten Buton
Utara” (wawancara, 3 Desember 2011).
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa keberadaan media lokal sebagai sarana
komunikasi dalam pendekatan Narrow
Casting untuk resolusi konflik dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Buton
Utara dalam rangka menyelesaikan perbedaan dan pertentangan pendapat terhadap
kebijakan yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Buton Utara
melalui Ereke.
Pemanfaatan media lokal sebagai
sarana penggunaan pendapat dan tanggapan masyarakat yang menginginkan agar
pemerintah Kabupaten Buton Utara menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan
pembagunan di Buranga dianggap sangat efektif, karena dapat menginformasikan
setiap dinamika konflik yang berlangsung di wilayah Kabupaten Buton Utara
dengan berbagai fenomena yang ada di dalamnya. Hal ini dijelaskan oleh komponen
pemuda Kabupaten Buton Utara sebagaimana diikuti dalam media Kendari Ekspres 12
september 2011 sebagai berikut:
“Kami
memberikan apresiasi terhadap terbitnya surat pemerintah provinsi Sulawesi
Tenggara yang menganjurkan agar pemerintah Kabupaten Buton Utara memfungsikan
Buranga sebagai ibukota Kabupaten Buton Utara. (Jamsir Lambau, sebagai
dikutip dari harian Kendari Ekspres
tanggal 12 september 2011).
Sejalan
dengan pendapat di atas pada harian lokal yang sama Tokoh masyarakat Kecamatan
Bonegunu mengungkapkan bahwa:
“Tidak
ada lagi alasan pemerintah Kabupaten Buton Utara dalam hal ini Bupati defenitif
Ridwan Zakariah untuk tidak memfungsikan Buranga sebagai Ibukota dan pusat
pemerintah Kabupaten Buton Utara, karena apabila kebijakan yang sekarang ini
masih dilanjutkan, maka berarti wibawa pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
Sulawesi Tenggara telah dilecehkan oleh pemerintah Kabupaten Buton Utara”
(Nasri, sebagaimana dikutip dari Harian Kendari Ekspress, tanggal 12 September
2011).
Berdasarkan Polemik mengenai
penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara yang selama ini menjadi alasan
konflik, terlihat bahwa masing-masing komponen yang terlibat konflik
memanfaatkan media massa sebagai sarana penyaluran aspirasi dan tanggapan dalam
memberikan dan menyebarkan informasi secara tepat kepada Khalayak, namun secara
substansif masing-masing komponen yang berkonflik lebih mengedepankan
pembenarannya masing-masing dan tidak menerima pandangan dan pendapat mereka.
Eksistensi media massa local
sebagai sarana komunikasi berbagai
komponen yang terlibat dalam konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara,
dapat berubah menjadi saraana komunikasi yang efektif apabila posisi daan peran
media massa dapat menjadi mediator dalam mempertemukan berbagai perbedaan
pandangan dan pendapat antara para pihak yang terlibat konflik.
Upaya
menghindari perbedaan melalui berbagai polemik di media massa pada awalnya,
dapat dihindari dengan cara mengupayakan solusi selama melakukan polemik.
Menekan perbedaan pendapat sebagai produk ikutan komunikasi. Sebenarnya konflik
penting untuk dinamika komunikasi. Konflik terjadi karena orang tidak saling
mengerti, apabila pengertian pemahaman antar individu atau kelompok dapat
disejajarkan dalam penilaian, perhatian dan pemahaman yang sama, maka peluang
konflik dapat terhindarkan dan terselesaikan dengan baik.
Faktor
kepribadian masing-masing komponen kelompok atau individu yang terlibat konflik
juga menentukan proses pendekatan yang dilakukan melalui media massa, karena keterbukaan dan
keinginan untuk memahami dan menerima pandangan yang disalurkan melalui media
komunikasi sebagai salah satu sarana komunikasi, memungkinkan tercapainya
resolusi konflik.
4.3.3 Pemanfaatan Saluran Tradisional
Eksistensi tokoh masyarakat dan
sarana budaya sebagai sebuah wadah komunikasi bagi para pengikutnya, dapat
menjadi sebuah pendekatan efektif untuk menyelesaikan konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara. Hal ini dimungkinkan karena masih kuatnya akar
budaya dan tradisi yang dianut sebagian besar masyarakat Kabupaten Buton
Utara dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan
saluran tradisional berupa keterlibatan tokoh masyarakat dan budaya (sarana
Lipu) sebagai salah satu pendekatan dalam penyelesaian konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara telah dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Buton
Utara dalam mengupayakan resolusi konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton
Utara . hal ini sebagaimana dijelaskan oleh informan sebagai berikut:
“Dalam
rangka mengupayakan selesainya konflik tentang penempatan Ibukota Kabupaten
Buton Utara, keterlibatan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk menjelaskan
kepada masyarakat dilingkungannya, agar dapat memahami dan menyebarkan
informasi secara luas tentang berbagai kebijakan pemerintah sehubungan masih
diselenggarakannya pemerintah di Ereke” (Hajaruddin, Wakil Ketua DPRD Kabupaten
Buton Utara, wawancara 12 Desember 2011).
Berdasarkan
uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pemerintah Kabupaten Buton Utara
menggunakan media saluran tradisional melalui pendekatan kepada tokoh
masyarakat Kharismatik dan pendekatan budaya agar masyarakat dapat menerima
informasi secara langsung secara benar melalui peran para tokoh masyarakat dan
peran budaya dalam meredam dan menyelesaikan konflik.
Pendekatan
melalui saluran tradisional melalui para tokoh dan peran tradisi dapat
menyentuh langsung karakteristik dan sikap pribadi individu masyarakat
Kabupaten Buton Utara, yang masih kuat dan teguh memegang nilai-nilai
penghormatan dan kultural budaya. Pendekatan komunikasi terhadap aktivitas
perilaku kepribadian manusia sehubungan dengan resolusi konflik terutama dalam
aspek nilai-nilai kultural dan tradisonal, yaitu :
a.
Asumsi
pertama, pendekatan perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya
kalau kita hendak menganalisis perilaku manusia maka analisis itu harus
menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal, sehingga dalam
mengetahui dan memahami sikap di dalamnya sikap dan pribadi individu terhadap
nilai-nilai kultural yang dmilikinya.
b.
Asumsi
kedua, apa yang dialami seseorang atau kelompok orang yang hendak dipahami
melalui persepsi dan perasaan tertentu, meskipun persaaan itu subjektif, maka
yang perlu diketahui adalah apa yang menjadi tujuan dan pendorongnya sehingga
mengambil sikap dan perilaku tersebut, sehingga dapat dilakukan antisipasi atau
pencegahan serta mengatasinya melalui pendekatan yang tepat.
c.
Asumsi
ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan
humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan
antara faktor emosi dengan perilaku dalam melakukan pendekatan dan penguasaan.
d.
Asumsi
keempat, setiap individu atau kelompok orang sering tidak menyadari bahwa
tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok
tersebut. O)leh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan
pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan
kesadaran sehingga mereka tidak dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.
Kesadaran yang sepenuhnya menghantarkan sikap dan pribadi individu yang
mempunyai prinsip dan tidak mudah dipengaruhi.
e.
Asumsi
kelima, faktor-faktor yang bersifat kualitatif misalnya derajat penerimaan
antar pribadi, konflik, kepercayaan antarpribadi merupakan faktor penting yang
mempengaruhi perilaku manusia.
f.
Asumsi
keenam, aspek yang terpenting dari perilaku ditentukan oleh proses perubahan
perilaku bukan oleh struktur perilaku. Proses perubahan perilaku biasanya terjadi
karena adanya pengaruh lingkungan sekitar, sehingga peran kultur tradisional
dan tokoh masyarakat kharismatik memegang kunci utama dalam mencegah atau
mengatasi konflik yang disebabkan karena perubahan perilaku.
g. Asumsi ketujuh kita dapat memahami prinsip-prinsip yang mengatur
perilaku melalui pengujian terhadap pengalaman yang dihadapi individu. Cara ini
relatif lebih baik dari pada kita memahami perilaku melalui abstraksi secara
deduktif. Asumsi ini mengingatkan kita bahwa orientasi fenomenologis terhadap
perilaku manusia melalui pengamatan empiris dan berbagai pengalaman, masih
lebih kuat dari pada sekedar mengabstraksi perilaku manusia semata-mata.
h. Asumsi kedelapan perilaku manusia dapat dipahami dalam seluruh
kompleksitasnya bukan dari sesuatu yang disederhanakan. Asumsi ini berkaitan
erat dengan asumsi pertama yang menganjurkan suatu pendekatan yang holistic
terhadap perilaku manusia.
4.3.4 Menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak
Pendekatan lain yang dapat
dilakukan sebagai upaya mengatasi konflik penempatan ibukota Kabupaten Buton
Utara adalah menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak dalam menyelesaikan
konflik. Sebagai daerah otonom yang baru tumbuh dan baru merencanakan
pembangunan daerahnya, Kabupaten Buton Utara memerlukan keikutsertaan khalayak
atau masyarakatnya secara utuh dalam proses pembangunan.
Mengenai
mengikutsertakan khalayak dalam mekanisme resolusi konflik penempatan ibukota
Kabupaten Buton Utara dikemukakan oleh informan unsur pemerintah sebagai
berikut:
“Aspirasi
sebagian masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah yang harus dilakukan di
Buranga, hal itu telah diapresiasi oleh pemerintah melalui kebijakan
pembangunan infrastruktur pemerintahan disana, tetapi dilakukan secara
bertahap. Hal ini yang tidak dipahami oleh masyarakat bahwa pemerintah tidak
dapat membangun sarana prasarana
pemerintahan dalam satu periode anggaran, sehingga dilakukan bertahap,
tetapi masyarakat menganggap bahwa pemerintah tidak memperhatikan aspirasinya,
pemerintah telah berupaya menciptakan suasana kondusif melalui mekanisme
komunikasi dengan berbagai komunitas masyarakat, namun sebagian dari masyarakat
tidak dapat menerima alasan pemerintah menyelenggarakan pemerintahan di Ereke
dan sesegera mungkin pemerintah beraktifitas di Buranga, adalah suatu hal yang
sangat mustahil dalam waktu singkat karena pemerintah sedang berproses menuju
ke penyelesaian sarana prasarana di Bungara” (Zaetu Ampo, Asisten 1 Setda
Kabupaten Buton Utara, wawancara 15 Desember, 2011)
Uraian
pada tabel diatas menunjukan bahwa sikap pemerintah Kabupaten Buton Utara dalam
hal perlibatan masyarakat umum dalam upaya resolusi konflik telah dilakukan,
namun secara faktualnya, sebagian besar dari kalangan masyarakat tidak dapat
menerima dan mendukung kebijakan pemerintah yang berjalan saat ini. Hal ini
dapat disebabkan karena pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang sikap dan
tindakan pemerintah yang tidak berorientasi pada aspirasi masyarakat.
Menurut
masyarakat pemerintah tidak memperhatikan aspirasi masyarakat agar Buranga
dimanfaatkan atau difungsikan sebagai Ibukota Kabupaten Buton Utara. Hal ini
dinyatakan dalam uraian hasil wawancara berikut:
“pemerintah
Kabupaten Buton Utara kelihatannya tidak memperhatikan aspirasi masyarakat dan
tidak melibatkan masyarakat dalam wacana penempatan ibukota Kabupaten Buton
Utara di Ereke sehingga sosialisasi dan komunikasi antar komunitas masyarakat
tidak berlangsung. Andaikan pemerintah selalu melibatkan masyarakat dalam
setiap proses resolusi konflik, baik secara individu atau komunitas, maka
resolusi konflik tentang Ibukota Kabupaten Buton Utara dapat diatasi sedini mungkin” (Ashami Fatwa,
Tokoh masyarakat Buranga, wawancara 15 Desember, 2011).
Berdasarkan
uraian diatas dapat diketahui bahwa sikap dan tindakan pemerintah Kabupaten
Buton Utara dianggap tidak aspiratif dan lebih berorientasi pada sikap politis
dan keberpihakan pada elemen tertentu. Hal ini menyebabkan konflik Ibukota
Kabupaten Buton Utara semakin meruncing dan tidak dapat diupayakan
penyelesaiannya, karena mekaniksme keikutsertaan khalayak dalam proses
komunikasi sebagai resolusi konflik tidak berjalan.
Perencanaan
dan pengelolaan komunikasi yang baik dalam pembangunan, membutuhkan suatu
pemahaman terhadap unsur-unsur yang terkait. Secara umum unsur-unsur yang pokok
termasuk dalam perencanaan pembangunan sebagai berikut: (a) Adanya
kebijaksanaan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan. Sering pula
disebut sebagai tujuan, arah dan prioritas pembangunan; (b) Adanya kerangka
rencana yang menunjukan hubungan variabel-variabel pembangunan dan aplikasinya;
(c) Adanya perkiraan sumber-sumber pembangunan, terutama pembiayaan; (d) Adanya
kebijaksanaan yang konsisten dan serasi termasuk sikap aspiratif pemerintah
terhadap kebutuhan masyarakat; (e) Adanya program yang dilakukan secara
sektoral, seperti: pertanian, industri, pendidikan, kesehatan dan lain-lain;
(f) Adanya administrasi pembangunan yang mendukung perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan.
Kebersamaan
yang tinggi dan mendalam pada setiap perencanaan pembangunan, memungkinkan
pemerintah Kabupaten Buton Utara mendapat dukungan kuat dari
khalayak/masyarakatnya secara mutlak. Beberapa unsur pembangunan dalam konsepsi
baru, yakni: pertama, pemerataan
penyebaran informasi. Kedua, partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan biasanya
dibarengi dengan disentralisasi kegiatan-kegiatan tertentu di daerah. Ketiga, berdiri diatas kaki sendiri dan
mandiri dalam pembangunan, dengan penekanan pada potensi sumber daya setempat. Keempat, perpaduan antara sistem
tradisional dan sistem modern sehingga pengertian modernisasi sebagai suatu
sinkretisasi antara pemikiran lama dan p[emikiran baru, dengan pertimbangan
yang berbeda-beda di setiap daerah.
Fungsi
komunikasi sebagai sarana resolusi konflik yang seharusnya dapat ditonjolkan
dalam rangka menerapkan fungsi komunikasi sebagai resolusi konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara, adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah
Kabupaten Buton Utara belum memiliki orientasi untuk meningkatkan aktivitas
komunikasi sosial antar kelompok, antar komunitas dan antar lingkungan yang
berada disekelilingnya, dengan maksud agar sikap menonton dalam berkomunikasi
dan kebiasaan menjalin kerjasama yang selama ini kelihatannya lebih
meningkatkan dari waktu-waktu sebelumnya.
2. Pemerintah
belum memiliki orientasi untuk memperbaiki kualitas hubungan komunikasi dengan
komunitas sekelilingnya. Permasalahan ini yang menyebabkan fungsi komunikasi
sosial sebagai sarana resolusi konflik belum dapat dioptimalkan. Dengan
demikian, perlu segera dipertimbangkan oleh berbagai komponen dalam
pemerintahan Kabupaten Buton Utara untuk merubah pola hubungan komunikasi dan
hubungan sosial dalam rangka menegaskan fungsi komunikasi sosial sebagai
resolusi konflik.
Sehubungan
dengan adanya permasalahan dalam menerapkan fungsi komunikasi sebagai sarana
resolusi konflik, maka perlu dilakukan telaah secara mendalam berbagai aspek
penyebabnya, karena fungsi komunikasi akan lebih efektif apabila berbagai
faktor yang menyebabkan fungsi tersebut tidak berjalan dapat terungkap dengan
jelas, agar dapat diminimalisir dan dihilangkan, sehingga fungsi komunikasi
sebagai sarana resolusi konflik dapat dioptimalkan.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka penulis membuat analisis interpretasi berdasarkan
kondisi faktual yaitu bahwa peningkatan dinamika komunikasi dalam kelompok yang
terlibat konflik berkaitan dengan upaya resolusi konflik, tentunya
memperhatikan berbagai komponen dalam komunitas masyarakat dan eksistensi
kelompok dalam rangka mencegah dan mengantisipasi konflik serta upaya meredam
setiap peluang konflik yang akan terjadi.
Fungsi
dan tugas komunikasi kelompok berkaitan dengan hal-hal yang perlu diperhatikan
dan harus dilakukan oleh kelompok dalam usaha pencapaian tujuan kelompok
melalui sarana komunikasi, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Koordinasi,
berfungsi sebagai koordinasi untuk menjembatani kesenjangan antara anggota
masyarakat. Hal ini sangat positif untuk memberikan dukungan atas individu
sebagai masyarakat yang mengalami kesulitan komunikasi dan koordinasi dengan
sesama anggota masyarakat.
2. Informasi,
berfungsi memberikan informasi kepada masing-masing anggota masyarakat. Proses
penyebaran informasi antar individu dalam masyarakat dimaksudkan agar
permasalahan individu atau dalam kelompok dapat menjadi wacana dalam kelompok
dalam rangka mencari solusi dan penyelesaian konkrit, sepanjang upaya
penyelasaian konflik bersifat positif maka prinsip penyebaran informasi antar
anggota dalam kelompok juga pasti bersifat positif.
3. Prakarsa,
berfungsi menumbuhkan dan mengembangkan prakarsa. Penegasan tentang eksistensi
kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama individu dalam masyarakat,
menjadikan prakarsa dan peran para tokoh karena merasa memiliki kepedulian,
kebersamaan dan dukungan.
4. Penyebaran,
berfungsi menyebarkan informasi-informasi yang dilakukan kelompok kepada
masyarakat atau lingkungannya. Dalam orientasi konflik, penyebaran informasi
dapat diidentikan dengan tindakan provokatif yang dapat merugikan kepentingan
sosial masyarakat disekelilingnya.
Kepercayaan
yang tinggi terhadap posisi dan peran tokoh masyarakat kharismatik dan ikatan
tradisi budaya dalam menyelesaikan dan solusi konflik yang tepat, sehingga
eksistensi saluran komunikasi tradisional dapat lebih diefektifkan.
Pemimpin
atau tokoh masyarakat kharismatik dalam masyarakat harus menggalakkan cara
berpikir kritis dan independen pemimpin atau tokoh masyarakat kharismatik harus
sensitif pada perbedaan status dan sikap pribadi masing-masing individu
masyarakat, yang dapat mempengaruhi keputusan individu dalam menilai
sunber-sumber konflik dan cara menyelesaikannya.
Prinsip
komunikasi dalam komunitas sosial masyarakat dalam rangka mengantisipasi,
mencegah dan mengatasi serta menyelesaikan konflik harus benar-benar berlaku
secara efektif dan tepat sasaran, karena komunikasi yang akan dilakukan harus
memenuhi beberapa prinsip yaitu, komunikan dan komunikator harus dapat
berkomunikasi dengan baik, pesan dan proses penyampaian pesan yang tepat
sasaran, tempat atau saluran atau media yang digunakan benar-benar efektif dan
waktu dan tempat yang akan digunakan untuk berkomunikasi benar-benar dapat
menciptakan suasana yang kondusif untuk menciptakan prakarsa-prakarsa yang baik
dalam rangka mengantisipasi, mencegah dan mengatasi serta menyelesaikan konflik
yang menjadi tujuan komunikasi.
Dampak
yang diharapkan dari proses komunikasi antara para mediator solusi konflik
dengan para kelompok yang berkonflik adalah adanya pengarah yang terjadi dari
proses komunikasi intens dalam rangka mencari solusi konflik. Dampak atau
pengaruh tersebut lahir secara timbal balik yang berawal dari penyampaian
sebuah pesan dalam proses komunikasi yang selalu mempengaruhi melelui
pengertian yang diungkapkan. Hubungan komunikasi antar manusia dilakukan karena
adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama atau karena adanya proses interaksi
sosial diantara individu.
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat dijelaskan secara singkat tentang iklim komunikasi
dan resolusi konflik yang ditawarkan dalam upaya mengatasi konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara adalahsebagai berikut:
Matrik Konflik
Penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara
Uraian
|
Latar belakang
|
Faktor
penyebab
|
Upaya solusi
|
Iklim
Komunikasi
|
Penerapan
strategi komunikasi
|
Kontiunuitas
& Frequensi komunikasi
Suasana
komunikasi
Perbedaan
persepsi/
Penilaian
dalam komunikasi
|
|
Resolusi konflik Pendekatan Komunikasi
|
Ceiling Effect
Narow Casting
Saluran
tradisional
Partisipasi
khalayak
|
Sumber:
Hasil analisis penulis
Berdasarkan matrik diatas, dapat
dijelaskan bahwa uraian latar belakang terjadinya konflik karena: (1)
kontinuitas dan frequensi komunikasi antara pemerintah Kabupaten Buton Utara
dengan masyarakat sangat minim, (2) suasana komuniaksi yang tercipta selalu
dalam suasana disharmonis, dan (3) selalu terdapat persepsi/penilaian yang
berbeda antara pemerintah Kabupaten Buton Utara dan masyarakat dalam menilai
dan mengkaji setiap fenomena yang berlangsung. Hal ini menunjukan bahwa iklim
komunikasi antara pemerintah Kabupaten Buton Utara dengan masyarakat kurang
baik yang disebabkan karena penerapan strategi komunikasi yang tidak tepat.
Resolusi konflik dalam penempatah
Ibukota Kabupaten Buton Utara dapat dilakukan dengan cara melakukan pendekatan
terhadap prinsip komunikasi yaitu: (1) pendekatan ceiling effect yaitu mengarahkan masyarakat untuk mengejar dan
mencari informasi dan pesan melalui komunikasi agar memiliki informasi yang
sejajar dengan sesama masyarakat disekitarnya, (2) pendekatan narrow casting yaitu masyarakat terlibat
secara aktif dalam setiap proses komunikasi yang bertujuan menyelesaikan
konflik sehubungan dengan penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Dalam
situasi ini, masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat
informasi dan pesan serta terlibat secara langsung dalam prosesnya, (3)
pemanfaatan saluran tradisional, yaitu melibatkan peran tokoh masyarakat
kharismatik dan disegani serta pelibatan tradisi budaya yang merupakan bagian
dari sikap dan perilaku dalam masyarakat sebagai bagian dari proses komunikasi
dan penyampaian pesan kepada khalayak dalam menyelesaikan konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara, dan (4) menciptakan mekanisme keikutsertaan
khalayak yaitu penerapan mekanisme komunikasi partisipasi yang dilakukan dengan
cara mengikutsertakan (partisipasi) masyarakat/khalayak dalam setiap aktifitas
komunikasi dalam menyelesaikan konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton
Utara, dimana masyarakat memiliki peran utama dalam menentukan solusi konkrit
menyelesaikan konflik penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Iklim
komunikasi yang berlangsung antara pihak pemerintah Kabupaten Buton Utara
dengan masyarakat menunjukan keadaan yang kurang baik karena penerapan strategi
komunikasi yang tidak tepat. Hal ini terlihat dari: (a) komunitas dan frequensi
komunikasi antara pemerintah Kabupaten Buton Utara dengan masyarakat yang
sangat minim, (b) suasana komunikasi yang tercipta selalu dalam suasana
disharmonis.
2. Resolusi
konflik terhadap penetapan Ibukota Kabupaten Buton Utara dilakukan melalui: (a)
pendekatan celling effect dalam
rangka mensejajarkan informasi dan komunikasi di masyarakat, (b) pendekatan narrow casting dalam rangka merangsang
keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap proses komunikasi, (c)
pemanfaatan saluran tradisional, dengan cara melibatkan tokoh masyarakat
kharismatik dan tradisi dan budaya yang merupakan bagian dari sikap dan
perilaku dalam masyarakat, dan (d) menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak
yaitu mekanisme komunikasi partisipasi yang dilakukan dengan cara
mengikutsertakan (partisipasi) masyarakat/khalayak dalam setiap aktifitas
komunikasi. Keseluruhan pendekatan tersebut bertujuan menyelesaikan konflik
sehubungan dengan penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Namun dalam
aplikasinya tidak satupun pendekatan resolusi konflik yang dijalankan oleh
pemerintah Kabupaten Buton Utara.
5.2 Saran
Berdasarkan
uraian kesimpulan penelitian, peneliti mengajukan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan
timbul kesadaran dan keinginan masing-masing kelompok yang berkonflik dalam
proses penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara untuk melakukan komunikasi
secara intens dan harmonis dalam rangka mencari solusi yang paling tepat dalam
rangka membangun Kabupaten Buton Utara dimasa yang akan datang.
2. Disarankan
agar rasa solidaritas dan prinsip kebersamaan dalam diri setiap individu
masyarakat dan pmerintah lebih diutamakan dan dikedepankan, agar perbedaan dan
pertentangan tentang penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara dapat lebih mudah
diselesaikan.
3. Diharapkan
agar pemerintah lebih mengintensifkan dan meningkatkan frequensi komunikasi
dengan masyarakat dalam rangka merangsang partisipasi aktif masyarakat dalam
proses pembangunan daerah, serta meningkatkan peran dan posisi para tokoh
masyarakat kharismatik untuk meneruskan setiap informasi dan pesan pemerintah
kepada masyarakat. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai tradisi budaya
sebagai simpul kebersamaan dalam tradisi dan sikap kultural yang masih diyakini
secara kuat oleh masyarakat Kabupaten Buton Utara.
DARTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar 1984: Strategi Komunikasi. Armiko: Bandung
Buranga,BP- Buton Utara – selasa
(20/9) 201: Tuntutan masyarakat Buton
Utara tentang Undang – Undang Nomor 14 tahun 2007 yang
menyatakan Ibukota Kabupaten
di Buranga. Kendari pos
Dilla, Sumadi 2007: Komunikasi pembangunan. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Dwipayana, A. A. GN Ari, dkk 2001: Merajut modal social untuk perdamaian dan
integrasi social. Yogyakarta: Fisipol UGM
Effendi, Hakimul Ikhwan 2004: Akar konflik
sepanjang zaman: Eloborasi
pemikiran Ibnu Khaldun.
Yogyakarta: penerbit pustaka pelajaran.
Effendy, Onong Uchana 1983: Teori
dan Filsafat, komunikasi. Rosda Karya: Bandung
Effendi 1990. Ilmu komunikasi dan praktek. CV. Remaja
Rosda Karya: Bandung.
1986. Dinamika Komunikasi. Rosda Karya Bandung.
Fisher, Simon, dkk 2001: Mengelola
konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak. Jakarta : The British
Council, Zed Books.
Francis, Diana 2006: Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial.
Yogyakarta: penerbit Quils.
Galtung, Johan 2003: Studi Perdamayan dan konflik Pembangunan dan
Peradaban.Surabaya : Pustaka
Eureka.
Kana, Nico L, dkk
2007: Pemekaran Kabupaten Sambas Dan
Kabupaten
Buton
: Temuan dan Isu Penting. Seminar Internasional: “dinamika Politik Lokal di Indonesia “. Sala Tiga
: Percik.
Kendari News, Kendari: Polemik soal Ibukota Kabupaten Buton Utara
Kliken, GerryVan 2007: perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan
Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Liliweri, Alo 2005: Prasangka
Dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur
: Yogyakarta, LKIS.
Misdar, 2011 Skripsi Pendekatan komunikasi dalam upaya
penyelesaian konflik penempatan
Ibukota Kabupaten Buton Utara. Kendari: Fakultas Ilmu
sosial dan
Ilmu politik Universitas Haluoleo
Muhamad, Arni 2002: Komunikasi Organisasi. PT. Bumi Aksara:
Jakarta
Mulyana, Deddy 2002: Ilmu
komunikasi suatu pengantar, Remaja. Rosda Karya: Bandung
Salim, Agus 2006: Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial : Buku sumber
Untuk penelitian
kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana
Simon, Fisher 2001: Mengelola konflik: ketrampilan dan strategi
untuk bertindak. Jakarta:
The British Council.
Sugiono, 2007: Metode
Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta
Tahara, Tafsrin 2007: Pemekaran Wilayah dan kontestasi elit
politik local, Suatu tinjauan
diwilayah Bekas Kesultanan Buton. Seminar Internasional : di namika politik local di Indonesia “.Sala tiga
percik
Pritt, Collins.,dkk 2004: Teori konflik sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wursanto. 2003. Dasar – Dasar Organisasi. PT. Andi.
Jakarta
Sumbe: Buku, Skripsi,Makalah,
Koran/Surat Kabar
Thankyou so much saudara Latief. Your Blog is really save me from my hopeless. It's really really usefull and help me much. All my great thanks with all my humbleness.. :)
BalasHapus